Theatre of Dreams : No Place Like Home


Hari sudah begitu gelap. Setelah delapan jam dari ibukota, akhirnya kita tiba di Semarang pukul 11. Dan disini begitu sepi.
“Sudah lama aku tak mengunjungi kota ini.” Syena berkata. Wajahnya tampak kisut, sepanjang perjalanan tadi dia tidur. Sedangkan aku mencoba menikmati film yang diputar di kereta.
“Ya, the old town.” Aku menjawabnya.
“Aku lapar.” Dia berkata sambil berjalan keluar dari Tawang.
“Sepajang hari kau tidur, dan sekarang lapar. Mengaggumkan.”
“Ya, itulah perempuan.”
“Tidak menurutku, kau bukan hanya sebatas itu.”
“ Maksudmu?”
“Kau berbeda dari mereka. Yah, mereka pada umumnya.”
“ Lalu?”
“Untukku, kau sedikit lebih berharga daripada mereka.” Aku menjawab sambil menatapnya tipis. Dan dia tersenyum.
“Mau kemana kita?” Tanyanya.
“ Makan.”
“Dimana?”
“Simpang lima. Ada beberapa pilihan disana.”
“Bagus. Ayo kesana.”


*****


“Damn, I’m so full.” Dia berucap. Syena makan banyak, walaupun tak sebanyak aku.
“Berapa semua?” Tanyaku.
“Biar aku selesaikan.” Dia berdiri menuju si penjual. Aku sendiri beranjak memakai sepatuku.
Semarang. 16 tahun lalu aku lahir dikota ini. Begitu banyak cerita dari kota ini. Kota tua yang panas. Terkadang membosankan, but just like everybody else said, there's no place like home.
“Pulang?” Dia duduk disebelahku seraya mengenakan sepatunya.
“Ya, sekarang.”
“Tunggu sebentar.” Dia sibuk mengikat tali sepatunya, tapi aku tak menghiraukan. Aku meninggalkannya dan berdiri di tepi jalan, menunggu sesuatu yang bisa membawaku pulang. Sebuah kata yang membuatku begitu merasa nyaman , pulang.


*****


“Aku pulang.” Aku menyapa rumahku. Sekitar pukul setengah 2 pagi.
“Kau ijin berlibur 2 minggu, baru 3 hari sudah pulang. Ada apa?” Tanya mamaku, aku sendiri heran kenapa dia masih terjaga.
“Ada urusan sebentar.” Jawabku sambil bergegas naik ke atas, ke kamarku.
“Apa kabar, Syena?” Tanya ibuku padanya.
“Selalu baik , Bunda.”
“Ayah dan Ibu?” Lanjut ibuku.
“Yah, mereka sedang sibuk menyiapkan pesta ulang tahun perkawinan mereka. Bukankah mereka juga mengundang bunda?”
“Tentu, sekarang istirahatlah , jangan keras kepala seperti si pino, dia memang sulit diatur. Kau juga harus sabar padanya.”
“Selalu.” Syena lalu segera menyusulku ke atas.

“ Bagaimana besok?” Dia bertanya seketika dia masuk kekamarku. Aku sendiri sedang mengeringkan mukaku dengan handuk setelah cuci muka tadi.
“Kita istarahat beberapa hari disini, sampai semuanya siap.”
“Kapan semuanya siap?”
“Tunggu saja. Dan cuci mukamu dulu, debu Jakarta masih tersisa di hidungmu.”
“Kau sendiri?”
“Aku akan tidur setelah selesai menata meja berantakan ini.” Aku menunjuk mejaku. Kabel disana-sini, semua barangku ada diatas meja itu.
“Baiklah, nite.”
“Good night.” Jawabku sambil menutup pintu kamar.


*****

Aku tidur lebih dari 5 jam. Lebih dari pukul 7 pagi aku terbangun. Aku segera turun, mengambil secangkir susu coklat panasku, lalu berjalan menuju teras mencari sedikit udara pagi. Disana sudah ada Syena terduduk dilantai sambil membaca koran hari ini. Di dekatnya ada secangkir susu seperti punyaku yang hanya tinggal sedikit. Aku duduk di kursi, tak jauh darinya.
“Apa yang kau baca?” Aku bertanya. Biasanya akulah yang membaca koran pertama kali di setiap pagi, tapi hari ini, perempuan ini mendahuluiku.
“Banyak. Dunia tak pernah berhenti kehabisan peristiwa.”
“Tentang Paris?”
“Tak satupun.” Dia memberikan Koran itu kepadaku lalu berdiri.
“Siang nanti, aku ke Gramedia.” Ucapku seraya menerima korannya.
“ Kinokinuya?” Tanyanya ragu-ragu.
“Tak ada kinokinuya disini, Gramedia mungkin yang terbaik.”
“Untuk apa?”
“Aku butuh banyak info tentang paris dan berbagai alternatif untuk kesana.”
“Kau benar. Jika kita beli tiket Jakarta-Paris akan terlalu mahal. Orangtua kita tak akan mengijinkannya, atau paling-paling, salah satu diantara mereka akan ikut.”
“Ya, dan yang lebih penting..”
“Aku tau.” Syena tiba-tiba memotong kata-kataku.
“Apa?” Aku penasaran.
“Yang kau inginkan adalah petualangan. Perjalanan Semarang-Paris yang menakjubkan. Bukan sekedar terbang dari Jakarta menuju Paris menggunakan besi bersayap. Yang kau inginkan sebuah pengalaman dari perjalan itu, bukan sekedar tiba di kota itu, lalu pulang. Kau mencari suatu perjalanan yang berharga.” Jelasnya santai, namun terlontar begitu pasti.
“Brilliant.” Jawabku singkat.
“Oke, ingatkan aku nanti.”
“Ya.” Aku pun mulai membaca koranku, dan Syena pergi meninggalkanku berdua dengan pagiku.

0 comment in this post:

  © This fucking template customized by Gilang Kharisma Rahman 2009

Pride of an MCRmy