Theatre of Dreams : Jakarta, The Old Friend.

Jakarta, pukul setengah 12 siang. Beberapa menit setelah aku menginjak tanah tua Jakarta. Dan kini hanya terduduk di tangga terminal memandangi bocah-bocah kecil yang sibuk berlarian memainkan bola dikakinya. Matahari hari ini benar-benar menjadi raja.
“ Aku bosan disini, mau kemana kita?” Pertanyaan darinya kali ini berhasil mendapatkan perhatianku. Termenung sejenak, aku lekas menjawab.
“Starbucks, kita butuh kopi”
“Oke, dimana?” Tanyanya sambil memungut tas ranselnya, yang sama persis dengan milikku, dan berdiri.
“Senayan”
“Kau masih dihatui memori itu bukan? Beberapa tahun lalu di senayan?” Aku sama sekali tak menanggapinya. Hanya mengemas peralatanku, mengikat tali sepatu, dan berdiri. Dia sendiri nampaknya masih tetap menunggu jawabku. Mengamatiku sambil memainkan bibirnya, seperti bayi.
“Jawab aku.” Dan kali ini dia cemberut.
“ Persetan, ayo berangkat. Aku haus”
“Terkadang kau terlihat seperti setan yang kehilangan sayap, mengerikan.” Ucapnya seraya mengejarku dengan langkah-langkah kecil.


* * * * *


“ Kau lihat, Jakarta semakin pucat. Dan sekarang dia mulai kehilangan awan. Tak ada lagi teduh.”
“Biar saja, semakin lama akan semakin mati.” Jawabku sambil menghisap kopi dan membaca majalahku. Aku sama sekali tak melihat langit yang dimaksud olehnya.
“ Apakah langit ada batasnya? Dari bawah sini, tampaknya sangat dalam dan gelap. Lebih dari laut menurutku, dan aku benci laut.”
“ Kapan-kapan, akan kuajak kau kesana, melihat seberapa jauh langit itu. Jika perlu, kita mampir dibulan, mencari burung kakatua disana.” Aku spontan berkata begitu, karena di majalah itu ada gambar burung kakatua.
“ Hei Pino” Dia memanggilku, pelan. Kali ini, aku berhenti membaca, lalu memandangnya. Sangat jarang dia memanggil namaku, sangat amat jarang. Dan saat itu dia sedang memandang tinggi ke angkasa. Tersenyum, dan matanya terbentuk indah, selayak rubi. Tatap matanya kosong, tapi aku tau dia sedang melihat sesuatu . Dan dia pasti sedang berkhayal tentang sesuatu yang menakjubkan. Dia adalah pengkhayal sempurna.
“ Aku sudah bosan melihat bulan dari bumi, suatu saat nanti aku ingin melihat yang lain. Aku ingin melihat bumi, dari bulan.” Dia berucap sambil terus menatap angkasa. Khayalannya sudah terbang jauh melebihi bulan.
“Ya, kita pasti kesana.” Kali ini aku menjawabnya sambil tersenyum. Aku tau dia tidak main-main dengan ucapannya tadi.
“ Terimakasih.” Jawabnya pelan. Dan aku melanjutkan membaca, sambil terus menghabiskan kopiku.

0 comment in this post:

  © This fucking template customized by Gilang Kharisma Rahman 2009

Pride of an MCRmy