Theatre of Dreams : The Beginning


Ketika langit masih pucat dan pagi masih enggan tuk berdiri aku telah lama berada disini. Terduduk diatas bangunan radio tua di kota ini. Dan lagi-lagi aku bersamanya, perempuan pengkhayal yang tak pernah kehabisan tawa. Mengamati sudut sepi kota ini disudut kumuh diawal pagi. Berdialog dengan dirinya dengan dinginku, dengan tawanya.
“Sudah lama kita tak bertemu, namun matahari tetap saja sama, pemalas” . Perempuan yang sedari tadi duduk disampingku mulai berbicara. Entah mengapa, dia tersenyum sambil menatap matahari yang mulai bangun.
Syena. Begitu aku memanggilnya. Aku mengenalnya ketika aku tak lebih dari umur 3 tahun, dan sudah lama kita tak berjumpa. Pagi ini seakan menjadi sebuah reuni bagi kita, dan dia sama sekali tidak berubah. Tetap ceria, dan wajahnya tetap sama. Ucapannya tadi sama sekali tak kujawab. Aku tetap diam mengamati matahari.
“Yah, kita tak bisa berharap bangun lebih pagi dari matahari. Dia tak pernah tidur, terus-menerus terjaga.” Dia berceloteh kembali.
“Tak ada yang tak mungkin di dunia ini. Bahkan menidurkan matahari sekalipun.” Kata-kata tadi menjadi kalimat pertamaku dipagi ini. Dan lagi-lagi dia tersenyum. Aku tak melihatnya, tapi aku tau. Dia selalu begitu.
Pagi ini begitu gelap. Hanya beberapa bapak tua yang keluar membersihkan sampah atau menyiram pot bunga. Sisanya masih pulas tertidur. Perkampungan ini begitu sepi. Dari atas atap gedung tua tempat siaran radio ini aku bisa melihat semuanya. Langit yang ungu, dan tak ada apa-apa lagi. Hanya terdengar sayup panggilan Tuhan di pagi hari dari arah selatan.
“Langitnya begitu indah, kau suka langit bukan?” Tanyanya. Dan aku pun tak bermaksud tuk menjawabnya. Hanya diam sambil tetap memandang timur.
“Ya, Langit memang indah , namum tak sampai mengalahkan matamu, aku sungguh suka sorot matamu. Tahukah kau tentang hal itu?” . Lagi-lagi dia bertanya. Dan aku tetap diam saja. Dingin
“Apa yang masih kau ingat tentang kota tua ini? Ingatkah kau bahwa kita pertama kali bertemu di kota tua yang semakin laknat ini?” Tanyanya lagi.
“Ya, aku ingat kota ini. Bandung namanya, hanya itu saja” Jawabku. Dan lagi-lagi dia tersenyum, polos sekali. Sebentar aku memalingkan pandangan ke wajahnya, ia sedang tersenyum sambil menatap matahari. Dan akupun kembali menatap langitku.


* * * * *

Kota ini tetap sama. Penuh dan selalu sibuk. Berada ditengah-tengah keramaian seperti saat ini membuatku sedikit merasa takut. Syena, sama sekali tak peduli. Dia berjalan ringan disebelahku sambil bersiul pelan..

“Aku tidak lapar, pagi ini kita tidak perlu pergi sarapan” Dia berkata sambil tetap mengikuti langkahku. Tanpa kutanya apakah dia lapar atau tidak.
“Akan kemana kita?” Mulutnya seakan tak bisa berhenti bicara.
“ Jakarta, kita akan ke Jakarta .”
“Ah, Jakarta. Sahabat lama, dan sudah lama kita tak berjumpa dengannya.”
“Jangan gila, aku tak pernah menganggap Jakarta sebagai sahabat. Dia munafik.” Dia seakan tak mendengar kata-kataku, semakin sibuk dengan siulnya.
“Aku memikirkan tentang bis, kereta terlalu cepat. . Bagaimana menurutmu?” Tanyanya sambil menyentuh telinagku, aku tak tau apa artinya.
“Ya. Bis, ke Jakarta”
“ Apa yang kita bisa dapatkan di Jakarta?” Seperti biasa, perempuan ini selalu ingin tau. Terus-menerus bertanya, menginterogasi secara halus tepatnya.
“Awal dar mimpi kita ada disana” Jawabku sambil terus memandang kedepan. Mengamati keadaan di terminal kumuh yang berbau hangus. Dan segera memulai perjalanan ke Jakarta dengan sebuah bis biru yang masih sepi..





(Bersambung ke "Theatre of Dreams : Jakarta, The Old Friend")

0 comment in this post:

  © This fucking template customized by Gilang Kharisma Rahman 2009

Pride of an MCRmy