Theatre of Dreams : Children of Heaven

Pagi ini Jakarta gelap. Terkurung oleh sekumpulan awan mendung hitam yang mengambang di langit ibu kota. Beberapa bocah-bocah berlari bersaing dengan derasnya laju kereta. Syena sudah terjaga lebih pagi. Dia sedang bercanda dengan anak penjual rokok di samping escalator. Perempuan itu tak kenal takut, si keras kepala tetapi ramah. Dia melihatku, menggendong si anak dan menghampiriku.
“ Kau butuh lebih banyak starbucks.” Ucapnya.
Starbucks tak kan membantu, aku bisa bangun sesukaku.”
“ Ya, semoga.” Jawabnya tersenyum. Meledekku sepertinya.
“ Kembalikan anak itu, kita segera berangkat.” Aku berdiri sambil merapikan tas dan jaketku. Dan dia berlari mengembalikan si anak, lalu bergegas menghampiriku lagi.
“ Namanya Davis. Di ambil dari nama pemain bola di inggris.” Dia berkata sambil memungut tasnya.
“ Persetan.” Aku menjawab, dan dia membalasnya dengan tertawa.
“ Mau kemana kita?”
“ Entahlah.”
“ Apakah kau masih tertidur?” Tanyanya tiba-tiba sambil menatapku. Seakan-akan ada yang salah dariku. Aku sendiri kaget mendengar pertanyaannya.
“ Kau buta ? Tak kah kau lihat mataku sudah terbuka dan saat ini sedang menatapmu?”
“ Tapi ini bukan kau, kau pasti masih sedang bermimpi.”
“ Maksudmu?” Aku heran.
“ Pino tak pernah ragu dalam sesuatu, tapi baru saja kau berkata bahwa kau tak tau mau kemana. Apakah kau masih bermimpi?” Tanyanya. Mendengar itu aku pun terdiam sejenak. Mengikat tali sepatuku. Lalu bangkit menjawabnya.
“ Semarang. Kita harus kesana.” Dan dia tersenyum.
“ Kau menggantungkan mimpimu jauh di puncak Eiffel, dan kau memilih Semarang untuk mengawalinya? ”
“ Ya, kita akan memulai semuanya dari sana.”
“ Baiklah. Aku tau kau tau apa yang kau pilih.” Dia berdiri, bersiap untuk pergi.
“ Kereta berangkat pukul berapa?” Tanyaku.
“ Entahlah, kita ke loket.” Dia melangkah meninggalkanku. Dan aku pun membuntutinya beberapa langkah dibelakangnya.

*****


Kereta berangkat pukul 3 sore. Masih tersisa banyak waktu untuk di habiskan di kota ini. Berjalan di tepi jalan yang riuh, syena tetap riang, sedangkan aku hanya diam. Mengamati tiap kebusukan kota ini.
“ Apa itu disana?” Dia menujuk kerumunan di bawah jembatan layang, tempat pangkalan truk-truk. Terdengar riuh rendah di sana. Entah apa.
“ Bukankah final champions masih lama?” Dia bertanya dengan wajah lugunya.
“ Tentu saja itu bukan final champions.” Tanpa mendengar selesai kata-kataku. Dia sudah berlari menghampiri itu. Dan aku pun menyusulnya. Dan disana memang bukan acara champions atau semacamnya. Disana tempat tinggal kaum homeless dan gelandangan. Mereka tidur disela-sela truk yang parkir. Para anak-anak bermain di ruang sempit antara tiap-tiap truk. Mereka melompat dari 1 atap truk ke truk lainnya. Meraka mengoper bola dari kolong-kolongnya. Mereka gembira.
Tak perlu waktu lama untuk Syena berbaur bersama mereka, dan beberapa menit kemudian dia berhasil mengumpulkan mereka semua, sepertinya ia akan menceritakan sebuah dongeng yang ajaib. Dan seperti biasa, dia begitu antusias. Dan aku pun hanya duduk disalah satu truk, mengamatinya dari jauh.
Dia begitu menakjubkan. Dia bisa berbaur dalam berbagai kondisi sosial yang berbeda. Tak jarang dia duduk anggun bagaikan putri menggunakan gaun hitam yang mempesona saat makan malam mewah bersama para pejabat tinggi teman-teman ayahnya. Dan dia juga yang merapikan blazerku jika berantakan di pesta-pesta besar para pengusaha sukses. Tapi di lain sisi, dia tak ragu untuk bercanda bersama pengamen-pengamen jogja dan makan malam bersama mereka. Dia tidak takut berdiskusi bersama kelompok anak cerdas calon ilmuwan dari ITB. Dia tak canggung berteman dengan para supporter bola yang tidur di gerbong kereta tak terpakai Dan saat ini dia sedang berbagi mimpi bersama puluhan anak-anak jalanan disini. Dia bercerita kepada mereka seakan-akan mereka adalah adik kandungnnya.
“ Kalian lihat kakak yang duduk disana?” Dia menunjukku. Dan anak-anak tadi segera melihatku.
“Dialah yang berjanji kepadaku akan membawaku ke puncak Eiffel dan melihat dunia. Anak laki-laki itulah yang menunjukan kepadaku seberapa besar kekuatan mimpi dan cita-cita kita bisa merubah takdir.” Dia berkata sambil dikelilingi oleh anak-anak itu. Dan mereka begitu terkesan pada sosok perempuan dihadapan mereka. Mungkin juga padaku.
“Syena, ayo cepat. Aku tak mau kereta itu pergi tanpa kita.” Aku mengajaknya pergi setelah melihat kearah jam yang ada di handphoneku. Dia menatapku, lalu berdiri. Aku segera turun dan melangkah pergi. Beberapa langkah aku pun berhenti, aku berbalik dan melihat Syena sedang sibuk membagikan biscuit pada mereka.
“ Hai kalian” Aku berteriak, dan mereka segera menatapku, sebagian ada yang takut.
“ Jangan pernah ragu untuk menjadikan dunia ini sama seperti dunia yang kalian impikan di dalam mimpi kalian. Karena dengan begitu, segalanya akan menjadi lebih mudah dan menyengangkan.” Aku berucap sambil tersenyum kepada mereka. Syena pun balas tersenyum kepadaku. Dan aku pun berpaling dan kembali melangkah meninggalkan mereka. Syena melambaikan tangan pada mereka sembari tertawa, lalu bergegas berlari menyusulku. Dan anak-anak itu dengan gembira menatap 2 jagoan mereka melangkah pergi sambil menggenggam erat biskuit-biskuit tadi.

0 comment in this post:

  © This fucking template customized by Gilang Kharisma Rahman 2009

Pride of an MCRmy