Theatre of Dreams : The Boy Who Had A Dream

Matahari tlah beranjak dari tempatnya. Dan aku pun tlah meninggalkan Senayan. Kita terus berjalan melewati jalan sudirman, dan terus menembus Bundaran HI menuju pusat. Dan akhirnya dihadapanku berdiri sosok putih nan sombong. Berdiri tegak membelakangi senja. Seakan menatapku dengan angkuh, menyuruhku untuk berhenti memandanginya. Monas. Pusat dari ibu kota.
“Kau lihat itu? Sosok yang menjadi lambang culasnya Jakarta” Dia berkata sambil terus membawa eskrim ditangannya yang sudah habis setengah. Meleleh disana-sini. Belepotan.
“Bangku itu.” Aku menunjuk sebuah bangku di sudut taman, tepat disamping sebuah lampu. Dia berlari kesana dan duduk mendahuluiku.
“Perwujudan dari kehormatan Jakarta ada didepan kita. Tak kah kau ingin melihatnya lebih dekat? Kita bisa kesana cukup dekat hingga kau mampu menyentuhnya.” Bangunan itu sudah cukup tua tapi berlagak hebat. Disekitarnya ada beberapa orang yang berlarian kesana-sini, sebagian menari didepan kamera, dan sisanya berteriak tak karuan. Berisik.
“Kehormatan apa. Itu hanya sebatas bangunan tentang pemujaan harta.”
“Harta?”
“Ya. Tak kah kau lihat emas yang berada dipuncak dan terus disorot itu. Itu selayak kita selalu meninggikan harta dan menjadikannya idola.”
“Kau benar.”
“Ya, aku selalu benar.” Mendengar jawabku, dia tersenyum. Dan eskrimnya sudah habis. Yang ada tinggal aku, dan Syena.
“Ini hanya sekedar monas, bukan Eiffel.” Ucapnya
“Eiffel?”
“Ya, aku tau kau pasti tau tentang Eiffel” Menghadapi pertanyaan ini, aku terdiam. Bukan karena aku tidak tau tentang Eiffel, tapi karena aku memikirkan sesuatu. Dan aku pun tersenyum.
“Ya, aku tau tentang Eiffel. Dan kita akan kesana.” Jawabku.
“Kau gila! Eiffel bukan berada di Jogja atau Palembang atau Singapore! Eiffel ada jauh di belantara eropa! Di Paris! Yang benar saja!”
“Apa aku terlihat seperti orang gila di matamu?” Jawabku sambil tersenyum memandangnya. Dan dia terdiam sejenak.
“Tidak” Dia berbalik tersenyum padaku.
“Bagiku, kau adalah seorang pemimpi” Lanjutnya sambil mencubit pipi kananku.
“ Dan kau ikut denganku?” Tanyaku, sekedar memastikan.
“Kemanapun kau pergi” Jawabnya. Tanpa ragu, tanpa berpikir.
Aku pun semakin tersenyum., dan kita pun memutuskan tuk beranjak pergi meninggalkan si tugu tua angkuh itu sendiri.



* * * * *



Aku berdua dengan dirinya pada 1 sudut lain di Jakarta, terduduk diam diatas bangku jalan kala malam yang basah menyelimuti kota Jakarta.
“Malam ini, Jakarta milik kita.” Gaung bisik darinya buyarkan anganku. Pukul berapapun aku seraya tak ingin tau, karena saat ini waktu tak akan menggeserku, dan nyala lampu kota ini sudah tak lagi mengganggu.
“Ya, malam ini Jakarta milik kita, hingga di ufuk terlihat pagi.” Kalimatku terucap perlahan untuk menjawab bisik pelan darinya tadi. Di stasiun Gambir ini aku dan dia terduduk tak bersuara. Hanya bercermin pada genangan air yang ada disela-sela parit kotor. Dan dihadapanku hanya ada manusia-manusia tanpa arah yang pergi kesana-kemari di tengah Jakarta yang mulai sunyi.
“Tepat pukul 11” Dia berucap setelah melihat kearah jam bergambar mickey mouse di tangan kanannya.
“Kapan kita akan pergi beranjak dari sini?” Sebuah Tanya terucap dari mulut mungilnya.
“Biar Jakarta mengusir kita, kita tunggu saja.” Jawabku dingin. Dan entah mengapa jawabku tadi membuatnya tersenyum. Manis sekali.
“Kau selalu sama, keras kepala, Tak pernah berubah. Dan itu yang membuat kumengagumimu.” Terucap bait kata-kata diantara tawa kecilnya.
“Persetan dengan rasa kagummu itu. Diamlah, dan nikmati Jakarta malam ini.”
Kututup kalimat-kalimat darinya. Dan kita berdua tertelan dalam kesunyian Jakarta.

0 comment in this post:

  © This fucking template customized by Gilang Kharisma Rahman 2009

Pride of an MCRmy